Hubungan Sultan Agung dan Tembayat
Setelah 2 kali kegagalan menyerbu Batavia kondisi di Mataram benar-benar berubah. Para pejabat di kerajaan Mataram banyak yang menyarankan kepada raja agar tidak lagi mengirimkan pasukan ke Batavia, kecuali Sultan Agung sendiri ikut serta. Seakan-akan kemenangan-kemenangan yang sebelumnya sudah diraih musnah sudah gara-gara kegagalan dua kali pengepungan ke Batavia.
Orang-orang Tembayat Membangkang
Namun tidak hanya itu. Di Jawa sendiri terutama Jawa Tengah ada kelompok-kelompok masyarakat yang kurang begitu menghargai raja. Kelompok-kelompok ini biasanya adalah kelompok-kelompok spiritual dengan garis keturunan yang lebih tua daripada kedatangan Islam ke Jawa. Mereka biasa hidup di tanah-tanah perdikan. Mereka bertugas merawat makam-makam keramat dan juga peninggalan-peninggalan sepiritual yang memang diwasiatkan kepada mereka untuk merawatnya.
Sultan mendengar sebuah berita yang mungkin saja salah yang mengatakan bahwa ada kelompok orang-orang yang menyamar sebagai pengemis keluar-masuk bisa mengetuk rumah-rumah penduduk meminta nasi tembakau dan bahan makanan lain. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah pemimpin tertinggi. Mereka juga merayu dan membujuk orang-orang agar memihak kepada mereka karena suatu saat mereka bisa menggulingkan Sultan Agung.
Mendengar berita ini Sultan Agung kemudian melakukan pemeriksaan kesan-kesan. Ada sekitar 27 desa yang penduduknya diperiksa dan sebagian besar lalu dipindahkan ke suatu wilayah dekat desa Taji. Di sana mereka dibangunkan gubuk-gubuk dan dijaga dengan ketat.
Orang-orang Belanda memberi penilaian yang sangat buruk pada para pengemis atau tokoh-tokoh spiritual ini. Hanya satu petunjuk yang bisa kita dapatkan mengenai siapakah para pengembara, pengemis atau tokoh-tokoh spiritual ini.
Sumber tersebut adalah Babad Sengkala. Babad Sengkala mengatakan " tidak lama kemudian pada tahun itu juga (yaitu tahun 1630) banyak orang yang mengalami kehancuran karena masuk perangkap,, orang-orang desa tertimpa bencana, di sebelah selatan Wedi orang berguru pada Syekh Bungas".
Ahli sejarah tidak bisa menyimpulkan siapa Syekh Bungas ini. Namun kata Bungas dihubungkan dengan kata Bongas. Setidaknya ada 2 desa yang bernama Bongas, yaitu satu di dekat Indramayu dan satu lagi di dekat Pekalongan. Berarti para tokoh spiritual, pengemis atau pengembara ini berasal dari daerah pantai.
Wedi adalah sebuah wilayah yang berada di sebelah barat Tembayat. Kita tahu bahwa daerah Tembayat adalah tempat dari Ki Ageng Pandan Arang atau Sunan Bayat.
Dugaan ini masuk akal karena memang wilayah Tembayat atau tokohnya yaitu Sunan Bayat adalah satu-satunya wilayah yang diperhitungkan oleh penguasa pada saat itu. Kita ingat Sultan Hadiwijaya setelah kekalahan perang dengan Sutawijaya juga datang ke Tembayat dimana pintu makam tidak bisa dibuka. Kemudian pada tahun 1677 sampai 1678 kita mengenal tokoh yang bernama Panembahan Romo juga berasal dari Tembayat ini yang melakukan pemberontakan terhadap Mataram.
Sampai di sini ahli sejarah menyimpulkan bahwa kaum pengembara, pengemis atau para tokoh spiritual tersebut memang berasal dari Wedi atau Tembayat.
Cerita kemudian berlanjut bahwa terjadi pemberontakan dari orang-orang Tembayat terhadap Mataram pada waktu itu yaitu tahun 1630. Namun tidak banyak yang menceritakan tentang pemberontakan atau pembangkangan dan kelompok Tembayat ini. Yang jelas pemberontakan tersebut bisa dipadamkan oleh Sultan Agung.
Konsolidasi Sultan Agung
Hal yang luar biasa yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah peristiwa berziarah nya Sultan Agung ke Tembayat pada tahun 1630.
Saksi yang mencatat kejadian ini dari pihak Belanda mengatakan bahwa Sultan Agung juga menyediakan sesajen. Namun mungkin peristiwa yang sebenarnya tidak seperti bayangan kita yang merujuk pada catatan tersebut. Mungkin Sultan Agung memang membakar kemenyan yang berbau harum untuk menghormati tokoh yang dimakamkan di situ yaitu Sunan Bayat.
Yang perlu kita catat adalah apa yang dilakukan Sultan Agung tersebut sesuatu yang baru dan mendobrak tradisi selama ini karena sangat jarang sekali wakil dari dinasti Mataram mau berkunjung ke Tembayat. Selama ini ini pada saat itu yang banyak berziarah ke Tembayat adalah orang-orang kecil, para perajin, para pedagang yang berharap mendapat perubahan nasib dari usaha-usaha mereka setelah mereka berziarah ke Tembayat.
Namun Sultan Agung adalah raja yang cerdas dan bijaksana sehingga beliau berkenan untuk berziarah ke Tembayat demi stabilitas kerajaan Mataram. Tidak hanya itu Sultan Agung juga mendirikan sebuah gapura yang menurut candra sengkala pada waktu itu menunjukkan tahun 1633.
Ada juga sebuah pendapa kecil yang menurut keterangan tempat tersebut juga dibangun oleh Sultan Agung dan digunakan oleh raja saat beliau menikmati makanan. Sultan Agung juga selalu meninggalkan hadiah ketika pulang dari Tembayat. Seperti halnya pemberontakan orang-orang Tembayat yang tidak banyak disebutkan dalam cerita tradisi Jawa kunjungan Sultan Agung ke Tembayat itu juga tidak banyak diceritakan.
Pemugaran Makam Tembayat
Kita bisa mengetahui peristiwa ini dari Babad Nitik. Hal lain yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah melakukan pemugaran makam di Tembayat. Pemimpin pemugaran diserahkan kepada patih Singaranu.
Ada sebuah cerita yang sangat menarik mengenai proses pemugaran makam ini Misalnya saja batu-batu untuk pembangunan makam di Tembayat diangkut dari Mataram dan tidak boleh menggunakan kuda biasa. Batu-batu itu harus dipindahkan dengan penuh rasa hormat sambil duduk bersila oleh orang-orang yang dianggap layak dan terhormat. Mereka duduk bersebelahan sambil bergantian memindahkan batu tersebut dari satu orang ke orang di sebelahnya. Jika diperlukan bisa menggunakan tiga ratus ribu orang. Para tokoh di Bayat dan juga Panembahan Purboyo adalah pengawas yang sangat serius dalam proyek tersebut.
Dan hasil dari pemugaran tersebut sangat indah. Setelah pemugaran makam di Tembayat kehormatan dan kesaktian serta kebaikan Sultan Agung meningkat drastis. Pada saat itu Sultan Agung dipercaya mampu melakukan salat Jumat di Mekah, tepatnya di dekat Kakbah.
Post a Comment for "Hubungan Sultan Agung dan Tembayat"